Jakarta – Crazy rich Helena Lim ditetapkan Kejaksaan Agung (Kejagung) sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tata niaga komoditas timah wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah Tbk tahun 2015-2022.
Helena Lim disebut-sebut memberikan sarana dan prasarana dalam kasus korupsi tersebut.
Menurut Kejagung, Helena Lim jadi tersangka dalam posisinya sebagai manager PT QSE.
Ia diduga kuat telah memberikan bantuan pengelolaan hasil tindak pidana penyewaan peralatan peleburan timah.
“Yang bersangkutan selaku manager PT QSE diduga telah memberikan bantuan mengelola hasil tindak pidana kerja sama penyewaan peralatan processing peleburan timah,” kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Kuntadi dalam keterangannya.
“Yang bersangkutan memberikan sarana dan prasarana melalui PT QSE,” lanjutnya.
Kuntadi mengatakan, hal itu dilakukan Helena untuk keuntungan pribadi dan para tersangka lainnya.
Kegiatan korupsi tersebut disebut dilakukan dengan dalih penyaluran Corporate Social Responsibility (CSR).
“Untuk kepentingan dan keuntungan yang bersangkutan dan para tersangka yang lain. Dengan dalih dalam rangka untuk penyaluran CSR,” tegasnya.
Namun Kuntadi menyebutkan, sejauh ini pihaknya masih mendalami benar tidaknya dana CSR yang disalurkan tersebut.
“Ini masih dalam proses penyidikan. Namun, yang perlu kita tegaskan di sini CSR di situ adalah dalih saja, benar atau tidaknya ada penggelontoran dana CSR itu masih kita dalami,” lanjutnya.
Helena merupakan tersangka ke-15 dalam kasus itu. Atas perbuatannya, Helena disangkakan Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31, tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 56 KUHP.
Awalnya, pada 2018, tersangka ALW selaku Direktur Operasi PT Timah Tbk periode 2017 hingga 2018 bersama tersangka MRPT, selaku Direktur Utama PT Timah Tbk.
Tersangka lainnya EE selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk menyadari pasokan bijih timah yang dihasilkan, lebih sedikit dibanding perusahaan smelter swasta lainnya.
Hal tersebut diakibatkan oleh masifnya penambangan liar yang dilakukan dalam wilayah IUP PT Timah Tbk.
Atas kondisi itu, tersangka ALW bersama dengan tersangka MRPT dan tersangka EE yang seharusnya melakukan penindakan terhadap kompetitor, justru menawarkan pemilik smelter untuk bekerja sama.
Yakni dengan membeli hasil penambangan ilegal melebihi harga standar, yang ditetapkan oleh PT Timah Tbk tanpa melalui kajian terlebih dahulu.
Untuk melancarkan aksinya dalam mengakomodasi penambangan ilegal tersebut, ketiga tersangka menyetujui untuk membuat perjanjian.
Perjanjian seolah-olah terdapat kerja sama sewa-menyewa peralatan processing peleburan timah dengan para smelter.
Pasal yang disangkakan adalah Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999.
Sebagaimana diubah dan ditambah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 jo. Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999, tentang Perubahan atas Undang-Undang RI Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.
Sejauh ini sudah ada 14 tersangka dalam kasus timah antara lain :
– SG alias AW selaku Pengusaha Tambang di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
– MBG selaku Pengusaha Tambang di Kota Pangkalpinang, Provinsi Kepulauan Bangka Belitung
– HT alias ASN selaku Direktur Utama CV VIP (perusahaan milik Tersangka TN alias AN)
– MRPT alias RZ selaku Direktur Utama PT Timah Tbk tahun 2016-2021.
– EE alias EML selaku Direktur Keuangan PT Timah Tbk tahun 2017-2018.
– BY selaku Mantan Komisaris CV VIP
– RI selaku Direktur Utama PT SBS
– TN selaku beneficial ownership CV VIP dan PT MCN
– AA selaku Manajer Operasional tambang CV VIP
– TT, Tersangka kasus perintangan penyidikan perkara
– RL, General Manager PT TIN
– SP selaku Direktur Utama PT RBT
– RA selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT
– ALW selaku Direktur Operasional tahun 2017, 2018, 2021 dan Direktur Pengembangan Usaha tahun 2019 hingga 2020 PT Timah Tbk. ***