DEDI Mulyadi, yang akrab disapa Kang Dedi atau KDM, lahir pada 11 April 1971 di Kampung Sukadaya, Desa Sukasari, Kecamatan Dawuan, Kabupaten Subang, Jawa Barat. Ia adalah putra bungsu dari sembilan bersaudara, anak dari Sahlin Ahmad Suryana, seorang pensiunan Tentara Prajurit Kader, dan Karsiti, seorang aktivis Palang Merah Indonesia yang tidak pernah mengenyam pendidikan formal. Sejak kecil, Dedi terbiasa membantu ibunya mengembala domba dan berladang, menanamkan nilai-nilai kesederhanaan dan budaya Sunda yang kental dalam dirinya.
Dedi menempuh pendidikan dasar di SD Sukabakti (1984), SMP Kalijati (1987), dan SMA Negeri Purwadadi (1990), semuanya di Subang. Ia kemudian melanjutkan pendidikan tinggi di Sekolah Tinggi Hukum (STH) Purnawarman, Purwakarta, dan lulus pada tahun 1999.
Perjalanan Karier Politik
Karier politik Dedi dimulai dari bawah sebagai aktivis. Pada 1994, ia menjadi Ketua Umum HMI Cabang Purwakarta dan terlibat dalam berbagai organisasi seperti Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) pada 1998. Ia pertama kali terjun ke dunia politik praktis sebagai anggota DPRD Kabupaten Purwakarta (1999–2003) melalui Partai Golkar, di mana ia menjabat sebagai Ketua Komisi E.
Pada 2003, Dedi terpilih sebagai Wakil Bupati Purwakarta mendampingi Bupati Lily Hambali Hasan (2003–2008). Ia kemudian maju sebagai Bupati Purwakarta pada Pilkada 2008 bersama Dudung Bachtiar Supardi dan memenangkan pemilu untuk periode 2008–2013. Kepemimpinannya membawa perubahan signifikan di Purwakarta, terutama dalam infrastruktur, pendidikan, kebudayaan, dan kesejahteraan sosial. Salah satu kebijakan terkenalnya adalah melarang guru memberikan pekerjaan rumah kepada siswa, yang mendapat dukungan luas dari masyarakat. Ia kembali terpilih sebagai Bupati untuk periode 2013–2018.
Pada 2016, Dedi dipercaya menjadi Ketua DPD Golkar Jawa Barat, menggantikan Irianto MS Syafiuddin yang tersandung kasus korupsi. Namun, pada 2018, ia gagal memenangkan Pilgub Jabar sebagai calon wakil gubernur berpasangan dengan Deddy Mizwar. Setelah itu, ia terpilih sebagai anggota DPR RI dari daerah pemilihan Jawa Barat VII (2019–2023) dan duduk di Komisi VI yang membidangi perdagangan dan industri. Pada Mei 2023, Dedi memutuskan keluar dari Golkar dan bergabung dengan Partai Gerindra.
Puncak karier politiknya terjadi pada Pilgub Jabar 2024, di mana ia berpasangan dengan Erwan Setiawan dari Koalisi Indonesia Maju (KIM), yang didukung oleh Gerindra, Golkar, Demokrat, PAN, PSI, dan sembilan partai non-parlemen. Dengan visi “Jabar Istimewa”, pasangan Dedi–Erwan memenangkan pilkada dengan perolehan suara tertinggi dalam sejarah Pilgub Jabar, yakni 14.130.192 suara (62,22%). Mereka resmi dilantik sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Jawa Barat pada 20 Februari 2025 oleh Presiden Prabowo Subianto.
Kiprah sebagai Gubernur
Sejak menjabat sebagai Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi langsung tancap gas dengan berbagai program yang berfokus pada kesejahteraan masyarakat. Ia menetapkan target ambisius untuk menyelesaikan perbaikan jalan 100% pada 2026, mengembangkan monorel di Bandung Raya, dan mengaktifkan kembali jalur kereta era kolonial untuk transportasi massal yang ramah lingkungan. Ia juga mengalokasikan anggaran besar untuk pendidikan (Rp1,2 triliun untuk ruang kelas baru), perbaikan jalan (Rp2,4 triliun), penyediaan listrik untuk masyarakat miskin (Rp350 miliar), dan program rumah tidak layak huni (Rp120 miliar).
Dedi juga responsif terhadap isu lingkungan. Pada Maret 2025, ia menangani banjir besar di Jabodetabek dengan melakukan sidak ke kawasan Puncak dan menemukan pelanggaran izin operasi objek wisata Hibisc Fantasy. Ia juga memimpin normalisasi Kali Bekasi dengan anggaran Rp3,6 triliun dan membongkar bangunan liar di bantaran Kali Sepak, sembari memberikan bantuan tunai Rp10 juta kepada warga terdampak.
Namun, beberapa kebijakannya menuai kontroversi, seperti program pelatihan di barak militer bagi 900 anak yang dianggap “nakal” dengan anggaran Rp6 miliar, yang memicu kritik dari orang tua dan laporan ke Komnas HAM. Selain itu, wacana kewajiban vasektomi untuk penerima bantuan sosial juga memicu perdebatan di media sosial. Meski begitu, Dedi dianggap sebagai “gubernur konten” karena keaktifannya di media sosial, yang menurutnya menghemat anggaran iklan Pemprov Jabar dari Rp50 miliar menjadi Rp3 miliar.
Kehidupan Pribadi
Dedi Mulyadi menikah dengan Anne Ratna Mustika, mantan Bupati Purwakarta, dan memiliki tiga anak: Maulana Akbar Ahmad Habibie, Yudistira Manunggaling Rahmaning Hurip, dan seorang anak lainnya. Putra sulungnya, Maula Akbar, mengikuti jejak ayahnya di dunia politik setelah lulus dari Universitas Padjadjaran. Dedi dikenal dekat dengan masyarakat, sering menggunakan ikat kepala khas Sunda, dan memiliki kanal YouTube “Kang Dedi Mulyadi Channel” dengan 6,62 juta subscriber, di mana ia berbagi konten tentang kegiatan sosial dan budaya.
Visi dan Kontribusi
Dedi Mulyadi mengusung filosofi “papat kalima tunggal” yang mencerminkan kekuatan budaya Sunda dalam kepemimpinannya. Ia juga menggandeng tokoh seperti Ignasius Jonan (penasihat transportasi), Susi Pudjiastuti (penasihat kelautan), dan Bey Machmudin (penasihat administrasi) untuk mempercepat pembangunan Jawa Barat. Meski kerap menuai polemik, Dedi dikenal sebagai pemimpin yang tegas, merakyat, dan responsif terhadap kebutuhan warga, dengan fokus pada infrastruktur, pendidikan, dan pelestarian lingkungan.